Multiplikasi Stube HEMAT di Raja Ampat
Pemilihan
kepala Daerah (Pilkada) kabupaten Raja Ampat tahun 2020 ini menjadi pemilihan
yang berkesan karena ada fenomena menarik di dalamnya, yaitu hanya ada satu
pasangan calon dan calon tersebut bertanding dengan kotak kosong. Kejadian ini
menjadi pelajaran menarik berkaitan politik dan membuat pertanyaan bermunculan
seperti mengapa hanya bisa ada satu calon, tidak adakah kandidat lain yang
punya kapasitas, apakah dunia politik tidak menarik lagi, apakah orang-orang
enggan terlibat politik dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Pilkada sebenarnya menjadi bagian dari demokrasi yang memberi kesempatan rakyat ikut ambil bagian dalam menentukan pemerintahan yang diwujudkan dalam memilih pemimpin secara langsung maupun wakil-wakilnya. Berkait pertanyaan di atas tadi maka edukasi politik penting dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat berpatisipasi dalam demokrasi, dalam kasus ini adalah memilih pemimpin daerahnya.
Edukasi politik dalam rangka Pilkada kabupaten Raja Ampat menjadi penting karena akan membekali masyarakat dengan pengetahuan dan pemahaman yang benar dalam menentukan sikap politik, dalam hal ini dalah memberikan suaranya. Multiplikasi Stube HEMAT di Raja Ampat yang mendampingi anak muda dan mahasiswa memfasilitasi mahasiswa aktivisnya di Raja Ampat dan Sorong untuk belajar tentang pilkada dan fenomena kotak kosong. Ini merupakan bagian edukasi politik untuk anak muda dan mahasiswa sehingga mereka nanti tidak asal memilih saja tetapi juga memiliki alasan kuat dalam menentukan pilihannya.
Diskusi diadakan pada tanggal 4 November 2020 di ruang pertemuan resto Wong Solo dan dihadiri belasan mahasiswa aktivis program Multiplikasi Stube HEMAT di Raja Ampat. Pdt. Grace Nanuru, S.Th., yang juga Multiplikator Stube memandu diskusi mahasiswa yang berasal dari kampus Unamin, Unimuda dan Stikes Sorong. Dalam diskusi ini terungkap bahwa dinamika politik yang ada akhirnya membuat situasi persiapan pilkada kabupaten Raja Ampat menghangat. Petahana yang mendapat dukungan dari dua belas partai menyebabkan bakal calon lain kesulitan untuk mendapat dukungan untuk maju dalam pilkada. Ini menimbulkan gejolak baik di tingkat elit maupun masyarakat karena menghambat proses demokratisasi dan rakyat tidak memiliki pilihan alternatif.
Bahkan dengan perkembangan berikutnya ada gerakan yang akhirnya membentuk ‘tim sukses’ untuk mempromosikan ‘kotak kosong’ di pilkada Raja ampat. Munculnya dua kelompok antara pro calon dan pro kotak kosong membuka peluang terjadinya perselisihan antar kelompok pendukung dan ini nampak dengan memanasnya perang komentar di grup-grup media sosial.
Di
akhir diskusi, sebagai simpulan bersama, bahwa para mahasiswa tidak perlu
bersikap secara frontal tetapi bisa memberikan pengertian yang benar bahwa
kondisi ini merupakan bagian dari dinamika politik, jangan sampai menimbulkan
perselisihan yang merugikan masyarakat. Mahasiswa diharapkan berpartisipasi pada
tanggal 9 Desember 2020 untuk memberikan suara sebagai wujud nyata berdemokrasi
di kabupaten Raja Ampat. (TRU)
Komentar
Posting Komentar